Minggu, 31 Juli 2011

Stres Pada Anak dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Fisik (1)



Oleh: Dokter HANDRAWAN NADESUL
Kata orang semakin banyak anak sekolah sekarang yang stres. Kompetisi di sekolah semakin ketat, kurikulum kian padat, dan metode pengajaran dan sikap pendidik dinilai kurang manusiawi. Semua itu menyiksa hari-hari bermain anak. Belum lagi ditambah dengan waktu yang dirampas dari hari-hari anak untuk (terpaksa) les ini-itu. Maka beban hidup anak melebihi kodratnya yang perlu lebih banyak bermain. Apa pengaruh penyakit stres terhadap kondisi fisik anak, kita bicarakan di sini.
BUKAN satu kali terdengar kasus anak menolak berangkat ke sekolah. Atau ada juga anak yang setiap kali tiba di depan gerbang sekolah langsung muntah, atau sakit perut, dan mencret. Penyebabnya satu. Hampir pasti anak itu sedang jatuh stres.
Anak yang stres bisa jadi karena membenci gurunya. Boleh jadi karena membenci mata pelajarannya. Tak jarang lantaran kedua-duanya. Anak tak merasa nyaman selama bersekolah. Konsep belajar-mengajar kita menjadi cenderung indoktrinasi, menjadi hanya searah, dan bukan dialog.
Cerita ihwal pendidikan hanya searah sebagaimana lazim dialami anak didik kita melahirkan anak didik yang kurang pandai untuk bebas mengekspresikan isi kepalanya. Anak jadi pasif, dan otaknya kurang dinamis. Kelemahan anak yang terbiasa dicekoki pelajaran ini umumnya terbawa sampai jenjang universitas.
Anak didik dengan model belajar mengajar seperti ini, cenderung tidak menyukai pelajaran bisa lantaran gurunya, mata pelajarannya, atau peraturan sekolahnya. Bisa juga karena sikap gurunya, bukan mata pelajarannya.
Sebetulnya semua anak bisa mencintai matematika mata pelajaran yang ditakuti itu kalau gurunya pandai menjinakkan momok bahwa matematika itu susah. COntohnya adalah peran seorang Prof. Johannes Surya, yang menjadikan proses belajar fisika itu sama menariknya seperti belajar sejarah atau ilmu bumi.
Menghapuskan stressor
Seseorang, apakah itu anak atau orang dewasa akan jatuh stres kalau hidupnya gagal beradaptasi dengan stressornya. Kita tahu stressor dalam hidup seseorang ada empat yaitu tekanan, konflik, frustrasi, atau krisis. Mustahil seseorang bisa hidup terbebas dari stressor. Bahkan, stressor dalam takaran rendah dibutuhkan agar jiwa kebal.
Ibarat vaksin untuk mengebalkan terhadap sejumlah penyakit infeksi, stressor juga bisa dijadikan vaksin agar jiwa anak tahan banting. Semakin lengkap stressor pernah anak alami semasa kecilnya, semakin kuat ketahanan jiwa anak. Anak yang rentan bunuh diri, hanya gara-gara soal sepele, misalnya, tergolong anak yang ketahanan jiwanya lemah.
Tentu dalam perjalanan hidup seorang anak tidak mungkin selalu mengalami stressor. Anak yang berasal dari keluarga kecukupan, umumnya semua kebutuhan hidupnya serba tersedia, serba lengkap, dan miskin pengalaman stressornya. Sebaliknya anak yang hidupnya prihatin, mengalami stressor yang lebih banyak, selain lebih lengkap, maka mereka lebih kebal kalau sewaktu-waktu mengalami kekecewaan, putus asa, atau menghadapi konflik, atau jika jiwanya tertekan.
Maka sebetulnya diperlukan latihan (rekayasa) agar setiap anak juga mengalami stressor sejak kecil. Menciptakan suasana krisis lewat outbond, misalnya, bertujuan anak merasakan juga kalau hidup tidak selalu mulus. Sikap pengasuhan yang tidak selalu meluluskan apa saja permintaan anak, sikap tidak memanjakan, membiarkan anak belajar hidup berdisiplin, bagian dari pembelajaran agar jiwa anak tidak rapuh.
Malstress
Tentu saja tidak sehat kalau stressor berlangsung lama, dan jenis stressornya sama. Orang yang dirundung stressor yang sama berkepanjangan, jika gagal beradaptasi, akan jatuh ke dalam penyakit stres. Ini stressor yang tidak sehat.
Jadi, penyakit stres itu akan dialami jika orang gagal menyesuaikan diri dengan beban stressornya yang bertubi-tubi untuk waktu lama. Jiwa yang kalah melawan stressornya yang akan jatuh stres. Maka pada saat itulah muncul gejala penyakit stresnya.
Tidak demikian dengan orang yang tetap tidak sakit walaupun masih terus dirundung oleh stressor yang tidak berlangsung lama dan terus berganti. Orang ini tergolong orang yang jiwanya tahan banting.
Orang yang sejak kecil sudah kebal hidup dengan keputusasaan, hidup dengan konflik, tekanan, maupun krisis, biasanya tidak gampang stres. Maka, dibanding anak yang hidupnya kecukupan, anak yang sudah pernah hidup susah biasanya tidak mudah stres.
Maka belajar hidup susah juga diperlukan. Mengapa? Karena untuk bisa hidup sebagai orang kaya, setiap orang sudah siap. Sebaliknya, jika harus hidup susah, belum tentu orang siap menjalaninya.
Untuk tujuan itulah, walaupun orangtuanya serba kecukupan, tak perlu memanjakan anak dengan segala kelebihannya. Tak perlu mengumbar serba ketercukupan hidupnya. Sesekali anak juga perlu merasakan bagaimana rasanya kecewa kalau permintaannya tidak dipenuhi. Bagaimana putus asa, sedih, cemas, kalau menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hati.
Bagikan

Artikel Terkait:

Comments :

0 komentar to “Stres Pada Anak dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Fisik (1)”

Posting Komentar

Followers

 

Copyright © 2009 by Yoen`S

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger